Catatan Ke Tiga Puluh Lima Sekolah

Sehabis bermain gitar semalaman dengan suasana tenang dan sekali waktu listrik padam kami tertidur pulas. Kami cukup bahagia menghibur diri ditengah sunyinya malam. Jika pekan-pekans sebelumnya kami biasanya berdua saja, kali ini kami ditemani Pak Kahfi yang punya banyak cerita untuk dibagi. 

Semua berlangsung seperti biasanya. Saya yang telah menyelesaikan tugas dan kewajiban kemarin. Jadi hari ini saya cuma duduk di kantor dan menemani teman guru yang lain yang sedang piket. Tak lama kemudian datanglah teman guru kami yang memang berasal dari luar desa. Kali ini ia tidak berdua. Ada anak kecil yang dibawanya. Saya tak ragu mengucapkan selamat datang anak muda. 

Sebelum pulang kami mematangkan rencana kami untuk berangkat ke Matakali, kampung dari Pak Sukri. Sudah cukup lama kami tidak berkunjung kesana. Terakhir kali pada saat kami dipanggil makan durian. Seingat saya pada bulan Januari yang lalu sebelum Corona menyerang. Sehingga kini sudah mestinya berkunjung lagi. 

Kalau sebelumnya kami berjalan via Desa Tanete menyusuri jalan tani di pinggiran hutan yang masih lebat. Disana jalurnya cukup jauh karena masih harus memutar lagi jika ingin masuk ke Matakali. Namun kali ini kami mengambil jalur lain. Jalur ini lebih dekat jika dibanding dengan beberapa jalur lainnya. Tinggal menyeberangi sungai dan sudah langsung tiba di Dusun Baraka, salah satu dusun di Desa Matajang masih satu wilayah desa dengan Matakali. Mengingat jembatan yang tengah diperbaiki. Sehingga kami yakin jalur ini cukup sering dilalui dan memang telah dilakukan pengerjaan di sungai sehingga sudah bisa dilalui tanpa harus memakai rakit. 

Rencana sudah siap tinggal eksekusinya yang dinantikan. Sepulang sekolah saya bersama Pak Kahfi. Ketika kami sudah hampir tiba di puncak perbukitan tetiba saja rantai motor Pak Kahfi putus sehingga kami harus kembali Ke Bulo untuk memperbaiki jika tidak ingin mendorong motor satu tanjakan yang panjang lagi. Diputuskan kembali ke Bulo untuk memperbaikinya terlebih dahulu. 

Setelah jadi kami melanjutkan perjalanan. Beberapa tempat terlihat sudah semakin gelap yang menjadi pertanda hujan turun sore itu. Dan benar saja, memasuki daerah Dusun Dea Kaju kami, terutama saya basah kuyup. Semua yang melekat di tubuh basah semua. Apalagi saya lupa membawa jas hujan. Setiba di Banti ternyata cuaca bertolak belakang. Hujan tidak turun. Hujan Tuhan yang berikan. Sebagai sebuah pertanda kebesaran Tuhan.
Muhammad Suaib Natsir
Muhammad Suaib Natsir Penyuka berat PSM Makassar, sehari-hari bertugas di SMPN 6 Satap Maiwa. Warga Enrekang

Post a Comment for "Catatan Ke Tiga Puluh Lima Sekolah"