Catatan Ketujuh Puluh Satu Sekolah
Saya tidur agak lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa. Setelah makan malam saya terbaring dan tak lama kemudian saya tertidur. Begitu lelapnya. Saya bahkan tak memakai sarung hitam pengganti selimut malam tadi.
Materi hari ini di kelas VII yaitu keberagaman agama. Materi yg cukup menarik dibahas. Bagaiamana memaknai agama yang ada 6(diakui pemerintah) itu sebagai sebuah hal positif. Bukan justru dimaknai sebagai sebuah bentuk pemecah belah bangsa. Materi ini cukup layak dibahas sejak dini. Setidaknya para siswa telah memiliki bekal ketika akan berangkat pada lingkungan sosial yang lebih besar lagi.
Apalagi dengan suasana kelompok yang homogen seperti ini. Siswa perlu memahami bahwa diluar sana ada kelompok yang lebih besar dan tak selamanya berada di lingkungan mayoritas. Sehingga dengan bekal mempelajari keberagaman agama, siswa bisa setidaknya memahami bahwa Indonesia itu bukan cuma Islam, seperti agama mereka. Mereka harus bisa berbaur dengan yang lainnya.
Kelas VIII lebih menarik lagi yaitu organisasi Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan bangsa. Penting memahami bahwa momen kebangkitan bangsa banyak memberikan pengaruh kepada tokoh pergerakan yang berjuang membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan. Sehingga kedepannya bisa dijadikan pelajaran bahwa semangat kebangkitan nasional perlu dimiliki oleh siswa.
Selepas melaksanakan tugas, siangnya kami akan ke sungai. Keberangkatan kami kesana untuk menemani Pak Sukri melihat jalan atau dalam hal ini jembatan. Apakah jalan sudah bisa dilalui atau belum. Karena sebelumnya ia harus berputar dengan waktu tempuh sekira 3 jam. Padahal jika melalui sungai yang akan kami tuju itu jaraknya tak sampai sejam.
Untungnya sebelum kami berangkat, Pak Kahfi datang. Karena saat itu kami berempat, ada saya, Pak Kepsek, Pak Sukri, dan Ibu Riska. Pak kepsek tak lama lagi akan pulang sehingga jika kami juga akan berangkat akan meninggalkan Ibu Riska sendiri. Kami tak merasa enak meninggalkannya. Untungnya Pak Kahfi datang sehingga di sekolah ada teman bicara dari Ibu Riska. Apalagi mereka berdua adalah sesama bendahara sekolah yanh pasti tak akan kehabisan bahas membincang itu.
Kami pun berangkat. Perjalanan melewati kampung lalu terus menurun. Di perjalanan kami melihat banyak warga yang tengah bekerja di kebunnya masing-masing. Klakson kami bunyikan jika kebetulan berpapasan dengan pemotor atau pengguna jalan lainnya. Tak lama kemudian kami sampai dan melihat jembatan sudah berdiri kokoh.
Tak lama lagi jembatan ini akan jadi. Tiangnya sudah berdiri kokoh. Penegerjaannya tinggal pengecoran jika melihat secara pandangan awam. Jembatan ini merupakan penguhubung antara dua kecamatan yaitu Kecamatan Bungin dan Kecamatan Maiwa. Jika tak ada aral, tak lama lagi jembatan ini akan berfungsi.Dengan harapan bahwa akses transportasi yang selama ini menjadi kendala utama warga Desa Bulo bisa sedikit teratasi. Apalagi belakangan ini, mobilisasi warga Desa Bulo begitu tinggi. Mereka tengah mengembangkan produksi bawang merah.
Beberapa tahun terakhir memang Desa Bulo tengah fokus bertani bawang merah. Sehingga mobilisasi warga meningkat. Setiap saat harus menyiapkan pestisida, belum lagi pupuk yang kian langka. Sehingga mereka harus membeli pupuk dengan jarak yang lebih jauh. Dengan adanya jembatan bisa lebih mempermudah akses transportasi.
Kedepan mungkin jika jalan lewat jalur ini terus diperbaiki bukan tidak mungkin jalan ini akan menjadi akses utama warga Kecamatan Bungin ketika hendak menuju ibukota Kabupaten, yaitu Enrekang. Jarak bisa dipangkas bahkan setengahnya jika melalui jalan ini. Cerita ini saya dengar dari warga yang sering lewat jalan ini dengan jalan kaki dulu. Sedangkan jalan yang masih rusak bisa ditempuh dengan waktu yang singkat apalagi jika jalan sudah membaik. Sekedar tambahan bahwa jarak dari Panatakan(ibukota Kecamatan Bungin) ke Enrekang kurang lebih dapat ditempuh 2 sampai 3 jam. Karena harus berputar terlebih dahulu.
Bulo, 26/01/2021
Post a Comment for "Catatan Ketujuh Puluh Satu Sekolah"